hustle cultre

nama : akbar febryansyah
npm   : 202046500272
kelas  : r4e
kelompok pulen tilis

     

 FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HUSTLE CULTURE PADA MAHASISWA DI MASA PANDEMI COVID-19

Pandemi covid-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia menimbulkan berbagai dampak yang dapat dirasakan masyarakat mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial, hingga pendidikan. Untuk memutus rantai penularan covid-19 yang semakin tinggi, Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya yang meliputi pemberlakuan penerapan social distancing hingga menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Pemerintah juga menetapkan kebijakan yang biasa dikenal WHF atau Work From Home bagi para pegawai serta kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan sistem daring bagi seluruh tingkatan pelajar diindonesia.

Pandemi Covid-19 memberikan dampak merugikan pada aspek kesehatan hingga pendidikan. Akibat fenomena ini, aktivitas pembelajaran termasuk kegiatan kemahasiswaan lainnya perlu melakukan penyesuaian. Mahasiswa harus berupaya menyesuaikan diri dengan teknologi, media informasi serta manajemen waktu untuk menyelesaikan padatnya tenggat pekerjaan tugas kuliah hingga kegiatan pengembangan soft-skill. Mahasiswa dituntut untuk tetap produktif beraktivitas dan memenuhi target kegiatan selama pandemi yang pada akhirnya cenderung teradopsinya budaya gila kerja (hustle culture). Budaya gila kerja mencerminkan seseorang perlu bekerja lebih keras serta maksimal dalam setiap kegiatannya sehingga mengabaikan kapasitas diri maupun kesehatan, yang dapat berdampak pada peningkatan risiko gangguan kesehatan mental. Salah satu faktor yang melahirkan hustle culture adalah standar yang secara tidak langsung tercipta di lingkungan masyarakat. Standar tersebut menuntut orang-orang untuk meraih kesuksesan.

Tidak adanya hubungan antara pengalaman organisasi, jam kerja dan penggunaan media sosial dengan perilaku hustle culture diprediksi dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti motivasi, sikap dan lainnya. Perilaku hustle culture dapat berdampak pada status kesehatan mental mahasiswa akibat tekanan pekerjaan. Disarankan agar mahasiswa dapat menerapkan work-life balance sebagai antisipasi permasalahan kesehatan mental akibat dari perilaku hustle culture.

http://jurnal.iakmi.id/index.php/FITIAKMI/article/view/196

 

PERSPEKTIF “HUSTLE CULTURE” DALAM MENELAAH MOTIVASI DAN PRODUKTIVITAS PEKERJA

    Fenomena hustle culture saat ini, sangat banyak dikaitkan dengan gaya hidup yang berlebihan dalam melakukan suatu pekerjaan. Hal tersebut dapat berdampak pada kondisi kesehatan baik secara fisik maupun mental. Beberapa sumber menyebutkan bahwa hustle culture dapat mengakibatkan turunnya stamina tubuh, sehingga kesehatan terganggu dan keseimbangan dalam menjalankan aktivitas keseharian jadi tidak efektif. Pada beberapa hal hustle culture memaksa para pelakunya untuk melakukan multitasking terhadap pekerjaan yang dilakukan secara berlebihan.

    Hustle culture bisa memunculkan pengaruh yang negatif dalam banyak aspek kehidupan bagi sang pelaku, seperti kebahagiaan, kesehatan, sampai hubungan sosial masyarakat yang terganggu(Oates, 1971). Disamping itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Molino et al. (2016), ternyata sejalan dengan pernyataan Oates tersebut. Hustle culture memiliki korelasi negatif terhadap kualitas kehidupan yang berhubungan dengan keluarga, pekerjaan, dan kesehatan pada 617 pekerja di Italia.

    Melihat fenomena diatas, ternyata hustle culture berdampak pada kesehatan mental bagi pelaku yang sudah membiasakan diri dalam gaya hidup tersebut. lalu bagaimana keterkaitan antara hustle culture dengan motivasi dan produktivitas kerja? Berikut ini pembahasannya.

    Hustle culture yang menjadi fenomena gaya hidup gila kerja saat ini bukan tercipta atas ketidaksengajaan, melainkan para pelakunya terdorong dan terpengaruh untuk membiasakan hal tersebut terjadi. tentunya dorongan ini dapat memotivasi pelaku untuk meraih berbagai hal yang ingin dicapai melalui hustle culture. Penelitian yang dilakukan oleh Pujarama (2021), mengenai “The Urge to Hustle: Narratives of Mediated Higher Degree Learning Interaction among University Students during Covid-19 Pandemic”. Dengan melakukan analisis data secara tematik kepada objek penelitian, yaitu mahasiswa. Dalam hal ini hustle culture yang dimaksid pada penelitian ini dapat dimaknai sebagai perilaku bekerja lebih keras yang dilakukan oleh mahasiswa selama melaksanakan kegiatan belajar mengajar secara daring.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa, selama KBM online yang dilakukan responden selama dalam masa pandemi covid-19 ini, berusaha menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang selalu terhubung pada informasi melalui jaringan internet. Para responden merasa terisolasi dan tertinggal, sehingga diperlukan usaha yang lebih keras lagi dalam menyibukkan diri agar tidak tertinggal materi pembelajaran. Motivasi yang membuat responden untuk melakukan hustle culture adalah karena kurangnya kepercayaan dalam kerjasama tim, serta keinginan untuk bertumbuh dalam mengejar pengalaman selama kuliah online dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia. Sehingga responden dapat menjadikan pengalaman-pengalaman tersebut sebagai portofolio sebelum lulus kuliah nantinya.

    Berdasarkan penelitian tersebut, penulis melakukan analisis keterkaitan antara hustle culture dengan tingkat motivasi kerja yang dilkasanakan oleh responden, sebagai mahasiswa. Pada keadaan tertentu hustle culture dapat mendorong individu atau kelompok untuk melakukan suatu hal tertentu agar bisa mencapai hasil atau tujuan yang diinginkan. Keadaan dan kondisi lingkungan, dalam hal ini kepercayaan atas kerjasama tim selama KBM online, serta situasi pandemi covid-19, bukanlah hal yang sengaja atau begitu saja tercipta. Respnden berusaha untuk menyesuaikan diri pada kondisi dan situasi tersebut, dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu yang diharapkan. Sehingga dalam hal ini hustle culture dapat berperan positif dalam memberikan motivasi kerja pada mahasiswa.

Pembahasan mengenai Keterkaitan Hustle Culture terhadap Produktivitas Kerja.

    Keterkaitan hustle culture dengan produktivitas kerja dapat berupa penyelesaian pekerjaan dalam jangka waktu tertentu yang dibutuhkan, kuantitas dan kualitas pekerjaan yang bisa diselesaikan, hingga rasa nyaman dan aman dalam melakukan pekerjaan. Data yang dipaparkan mengenai jam kerja tahunan dengan produktivitas pekerja periode 1950-2017 dan data mengenai jam kerja tahunan dengan GDP perkapita periode 1990-2017, oleh Penn World Table (2019) dapat memungkinkan terjadinya implementasi hustle culture oleh para pekerja dalam pencapaian angka-angka tersebut.

    hustle culture dn motivasi kerja menunjukkan pengaruh yang positif namun dengan perlu menggarisbawahi dilakukan pada kondisi dan situasi tertentu. Selain itu pengendalian pada diri sendiri untuk tidak terjerumus dalam fenomena hustle culture dengan mengaitkan motivasi kerja dalam mencapai sesuatu sangatlah penting. Hal tersebut agar tidak mendominasi kehidupan individu atau kelompok untuk berorientasi dalam bekerja terus-menerus.

    Fenomena hustle culture yang berkaitan dengan produktivitas kerja ternyata tidak selamanya negatif. Walaupun data secara keseluruhan banyak yang menyimpulkan bahwa menerapkan hustle culture sangat berisiko dalam menurunkan produktivitas kerja. Hal itu juga perlu ditelaah lebih lanjut, karena selama individu atau kelompok dapat mengendalikan diri walaupun dengan gaya hidup gila kerja ini, dan membatasinya juga tidak berlebihan maka tingkat produktivitas tetap bisa dicapai.

http://ejurnal.stie-trianandra.ac.id/index.php/jupea/article/view/287/257

 

KAJIAN TEORITIS WORK LIFE BALANCE

    Saat ini telah terjadi perubahan pada dunia bisnis di mana persaingan sudah semakin ketat. Akibatnya karyawan dituntut untuk menjalani kehidupan dan pekerjaan dengan waktu yang panjang sehingga mengabaikan waktu untuk keperluan keluarga. Dalam jangka panjangkeadaan tersebut menimbulkan konflik pada kehidupan keluarga dan kurangnya waktu untuk kehidupan individu. Lambat laun karyawan akan mengalami tekanan kerja dan sulit untuk mendapatkan kepuasan kerja dan pada akhirnya produktivitas akan mengalami penurunan. Mengatasi keadaan itu organisasi perlu menekankan pada penawaran pekerjaan yang memfasilitasi ruang lingkup yang lebih baik untuk pengembangan potensi karyawandan agar karyawan dapat menjalani work-life balance (WLB). Konsep WLB mencakup keseimbangan yang tepat antara karier dan ambisi di satu sisi dan gaya hidup seperti kesehatan, kesenangan, waktu luang, keluarga, dan perkembangan spiritual di sisi lain.

    lingkungan pekerjaan dan keluarga dan batasan diantara keduanya untuk mencapai keseimbangan (Clark, 2000). Konsep WLB pertama kali digunakan di Inggris selama tahun 70-an. Namun, sebelum 1986 perusahaan mulai menerapkan kebijakan WLB. Munculnya WLB sebagai tanggapan terhadap peningkatan ketidakpedulian pekerja terhadap kehidupannya atau keluarga. Dalam kondisi tersebut karyawan focus menghabiskan waktu untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Hudson (2005) konsep WLB awalnya merupakan konsep untuk membuat keseimbangan yang lebih menitik beratkan pada keseimbangan pekerjaan-keluarga. Dalam perkembangannya konsep ini berubah karena masalah keseimbangan tidak terbatas pada anggota keluarga, tetapi juga mencakup bidang lain dalam kehidupan individu. Untuk alasan ini, istilah WLB telah menggantikan apa yang awalnya dikenal sebagai Work-Family Balance. Berikut ini disajikan teori yang berhubungan dengan WLB

    Pada dua dekade terakhir, semakin banyak penelitian menunjukkan jumlah karyawan yang memiliki work life balance (WLB) yang buruk. Keadaan ini disebabkan oleh terjadinya perubahan pada pola pekerjaan. Karyawan saat ini membutuhkan waktu kerja yang sangat lama(Iacovoiu,2020). Studi Mureşan (2015) menyatakan bahwa karyawan bekerja 50 jam atau lebih per minggu. Panjangnya waktu kerja karyawan menyebabkan konsekuensi negatif pada

    kehidupan-keluarga (Virick, Lilly, & Casper, 2007) dan mempengaruhi kesehatan fisik dan mental karyawan karena depresi, kecemasan, dan masalah yang berhubungan dengan tekanan. Akibatnya kinerja karyawan ikut terpengaruh dan membahayakan hidup (Kumarasamy, Pangil & Isa, 2016). Dalam domain kerja, buruknya WLB menyebabkan kinerja yang buruk dan menyebabkan lebih banyak ketidakhadiran karyawan (Frone, Russell & Cooper, 1997). Dampak buruk dari WLB menyebabkan organisasi harus menciptakan keadaan agar karyawan memiliki WLB yang baik. Beberapa studi menunjukkan bahwa jika WLB karyawan baik, maka hal ini dapat menyebabkan karyawan merasa bahagia dan dapat berkinerja dengan baik (Soomro, Breitenecker & Shah (2018). WLB juga meningkatkan kesejahteraan dan kepuasan keluarga (Grzywacz, 2000) serta komitmen organisasional (Cegarra-Leiva, Sánchez-Vidal & Gabriel Cegarra-Navarro, 2012; Wayne, Musisca & Fleeson, 2004). Studi Greenhaus & Powell, 2006; Hammer,Neal, Newson, Brockwood & Colton, 2005 menemukan bahwa WLB dapatmenguntungkan karyawan dan organisasi. Tujuan kajian teoritis WLB adalah untuk mengembangkan konsep WLB yangpada awalnya membuat keseimbangan lebih menitik beratkan pada keseimbangan pekerjaan-keluarga padahal dalam perkembangannya konsep keseimbangan tidak terbatas pada anggota keluarga, tetapi juga mencakup bidang lain dalam kehidupan individu.

    WLB merupakan suatu teori yang menjelaskan bagaimana individu mengatur lingkungan pekerjaan dan keluarga dan batasan diantara keduanya untuk mencapai keseimbangan. WLB memiliki konsekuensi penting bagi sikap karyawan terhadap organisasi serta kehidupan karyawan. WLB menjadi perhatian sebagai isu vital saat ini bagi individu maupun bagi organisasi. WLB telah didefinisikan dan dielaborasi oleh berbagai para akademisi dan menghubungkan masalah ini dengan cara yang berbeda. Sejumlah faktor terlibat dalam menentukan WLB dan ketidakseimbangan memainkan peran penting dalam kehidupan pribadi dan profesional. Dari studi terdahulu terlihat jelas bahwa banyak sekali anteseden dan konsekuen WLB ditemukan. WLB yang baik menciptakan sejumlah hal konsekuensi positif sedangkan ketidakseimbangan antara pekerjaan dan keluarga individu memilikipengaruh efek negatif.

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:yoF46lDV3soJ:pascasarjanafe.untan.ac.id/wp-content/uploads/2021/01/39.pdf+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-b-d

 

PENGARUH WORK LIFE BALANCE DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN PT BINA SARANA SUKSES

 

    Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara empiris pengaruh work life balance dan kepemimpinan terhadap kepuasan kerja karyawan PT. Bina Sarana Sukses. Penelitian melibatkan 127 orang karyawan PT.Bina Sarana Sukses dengan menggunakan teknik purposive sampling. Data penelitian diperoleh menggunakan tiga jenis skala yaitu skala work life balance, skala kepemimpinan dan skala kepuasan kerja. Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting penentu keberhasilan suatu perusahaan dalam meraih tujuan. Perusahaan dapat meningkatkan sumber daya manusia dengan memberikan pelatihan sebagai cara untuk menambah wawasan serta meningkatkan kemampuan yang dimiliki. Perusahaan yang memiliki sumber daya manusia yang baik, maka perusahaan tersebut dapat berjalan secara optimal dalam mengembangkan usahanya

    Kepuasan kerja di Indonesia masih belum bisa sepenuhnya dirasakan oleh setiap karyawan.Survei yang dilakukan tim riset kaltim post pada tahun 2017 terhadap 110 responden karyawan khususnya generasi millennial atau anak yang lahir pada tahun 1980-an hingga 2000-an yang kini berusia 16–34 tahun yang berasal dari Samarinda dan Balikpapan menunjukkan bahwa sebanyak 74,4% mereka berniat untuk berhenti bekerja dan sebanyak 40% beralasan karena pendapatan yang sedikit.

    Selanjutnya, 25,5% beralasan karena merasa jenuh dan bosan, 22,7% beralasan karena pekerjaannya tidak sesuai dengan keahlian yang dimiliki dan 11,8% beralasan karena banyak tekanan di tempat kerja (Prokaltim.com, 2017).Berdasarkan survei yang dilakukan oleh jobstreet pada bulan Oktober 2014 menunjukkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah tidak adanya keseimbangan antara kehidupan pribadi dengan pekerjaannya atau yang biasa disebut dengan work life balance. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 83% responden mengaku tidak memiliki work life balance dan sebanyak 62% karyawan merasakan sulit tidur dikarenakan masih memikirkan pekerjaan di kantor.

Work life balance merupakan keadaan dimana seseorang dapat menyeimbangkan tuntutan waktu antara keluarga dan pekerjaan dengan sebaik mungkin. Work life balance merupakan faktor penting bagi karyawan untuk menunjang agar karyawan memiliki kualitas yang seimbang berhubungan dengan keluarganya dan seimbang dengan pekerjaannya

Pertama, untuk melihat apakah terdapat pengaruh work life balance dan kepemimpinan terhadap kepuasan kerja karyawan di pt bina sarana sukses, maka pada penelitian ini diperoleh hasil uji regresi berganda sebagai berkut:

Tabel 1. Pengaruh Work Life Balance Dan Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja



 

MODEL                                   R                       R                       SIG

                                                                               SQUARE

WORK LIFE BALANCE

KEPEMIMPINAN                        0,371           0,138                     0,000

KEPUASAN KERJA

 

    Saat dilaukan regresi berganda antara work life balance dan kepemimpinan terhadap kepuasan kerja memiliki kofisien korelasi sebesar 0,371. Hal ini dapat dimaknai bahwa terdapat korelasi yang rendah antara work life balance dan kepemimpinan terhadap kepuasan kerja.

    Berdasarkan hasil uji hipotesis menyatakan bahwa hipotesis yang diajukan pada penelitian ini diterima. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara work life balance dan kepemimpinan terhadap kepuasan kerja. Pengaruh yang positif dan signifikan tersebut

    menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat work life balance dan kepemimpinan yang dirasakan oleh karyawan, maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan kerja karyawan. Sebaliknya, apabila semakin rendah tingkat work life balance dan kepemimpinan yang dirasakan oleh karyawan, maka semakin rendah pula tingkat kepuasan kerja karyawan tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah pengaruh yang diberikan antara work life balance dan kepemimpinan terhadap kepuasan kerja adalah sebesar 13,8%. Sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak terdapat pada penelitian ini. Ketiga, Bagi peneliti selanjutnya ini hanya menekankan pada variabel work life balance dan kepemimpinan, sehingga tidak semua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja bisa terungkap.

http://ejurnal.untag-smd.ac.id/index.php/MTV/article/view/4508/4368

 

IMPLEMENTASI WORK LIFE BALANCE DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Work-life balance adalah suatu keadaan seimbang pada dua tuntutan dimana pekerjaan dan kehidupan seorang individu adalah sama. Dimana work-life balance dalam pandangan karyawan adalah pilihan mengelola kewajiban kerja dan pribadi atau tanggung jawab terhadap keluarga. Sedangkan dalam pandangan perusahaan work-life balance adalah tantangan untuk menciptakan budaya yang mendukung di perusahaan dimana karyawan dapat fokus pada pekerjaaan mereka sementara di tempat kerja (Lockwood, 2003). Penelitian terdahulu telah meneliti bagaimana pentingnya work life balance bagi para pekerja, khususnya wanita. Masalah WLB semakin meningkat dalam 10 tahun terakhir ini dengan meningkatnya jumlah wanita yang bekerja.

Program Pengabdian Masyarakat ini telah dilakukan pada tanggal 23 Februari 2019 dengan diikuti oleh peserta sebagian besar adalah Ibu Rumah Tangga yang berasal dari warga RT-RT di sekitar RPTRA Kembangan. Pada saat pelaksanaan acara tersebut, hamper semua yang hadir adalah Ibu-ibu warga RT sekitar dan satu orang Bapak. Karena pada hari Sabtu, Bapak-bapaknya masih banyak yang bekerja. Acara ini dimulai pada pukul 15.20 WIB, karena menunggu adzan Ashar berkumandang sekaligus menunggu peserta yang datang, dan selesai pukul 17.00 WIB. Kegiatan ini mendapat perhatian dan antusias dari Ibu-Ibu warga sekitar RPTRA Kembangan. Meskipun acara ini ternyata bersamaan dengan pendataan KJP untuk masyarakat sekitar, namun antusias mereka untuk mengikuti acara ini tetap terlihat. Berikut ini adalah rangkuman dan gambaran hasil evaluasi kegiatan yang kami sajikan :

Sebelum Penyuluhan

1.Peserta belum banyak memaham imengenai pentingnya komunikasi yang terbangun di dalam rumah tangga, baik antara pasangan maupun dengan anak anak

Setelah Penyuluhan

Peserta mulai memahami mengenai pentingnya komunikasi yang terjalin dengan baik antara pasangan maupun dengan anak-anak

Sebelum Penyuluhan

2. Peserta belum banyak mengetahui mengenai parenting berupa kegiatan yang dapat dilakukan oleh Ibu dan anak ketika di rumah

Setelah Penyuluhan

Peserta mulai mengetahui kegiatankegiatan apa saja yang efektif yang dapat dilakukan oleh orang tua dan anak ketika di rumah sehingga terjalin kedekatan

Awalnya materi yang sudah disiapkan adalah mengenai work-life balance, sesuai dengan tema yang diusung. Namun setelah melihat kondisi peserta, narasumber dengan segera menyesuaikan dengan target peserta  yang hadir yaitu mengenai komunikasi dan  parenting, yang masih ada kaitannya dengan tema awal. Sebagian besar warga sekitar RPTRA Kembangan adalah keluarga dengan Ayah (suami) bekerja (di luar rumah) untuk mencarinafkah memenuhi kebutuhan hidup rumah

tangganya, sedangkan Ibu (istri) sebagai ibu rumah tangga yang menangani semua urusan domestik rumah tangga (mencuci, memasak, membereskan rumah, mengurus anak, dll).

Mereka melakukan semua aktifitas tersebut sebagai rutinitas sehari-hari sehingga terkadang mereka lupa bahwa mereka butuh membangun komunikasi yang efektif diantara pasangan mereka untuk menyampaikan dan mengapresiasi bahwa mereka telah melakukan hal-hal yang luar biasa setiap harinya. Ayah yang bekerja satu pekan full (senin – sabtu) dan Ibu mengurus rumah tangga 24/7 tanpa istirahat. Pada kondisi seperti ini, perasaan lelah dan stress terus mengikuti dan bisa saja akhirnya ‘meledak’ pada Ibu-ibu. Memang ketika narasumber bertanya apa yang dilakukan ketika lelah menghampiri sewaktu melakukan pekerjaan urusan rumah tangga, sebagaian besar menyampaikan bahwa mereka istirahat dengan menonton acara televisi atau berkutat dengan handphone/gawainya. Mereka hampir tidak pernah berkomunikasi, membicarakan terkait hal-hal yang sudah dilakukan oleh mereka selama ini, urusankerumahtanggaan yang dapat membuat hidup menjadi seimbang kepada pasangannya (Ayah). Hal yang mereka tahu adalah mereka melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing.Selain itu juga komunikasi yang terbangun antara anak dan orang tua, peserta (ibu-ibu) menyebutkan biasanya hanya sebatas menanyakan kegiatannya belajar mengajar di sekolah. Mereka belum banyak mengetahui hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh

mereka (ibu-ibu) untuk mendidik dan menemani anak-anaknya melewati masa perkembangan anak-anak mereka. Bukan berarti orang tua (peserta) disini tidak memiliki ilmu sedikitpun, mereka menjalankannya sesuai yang mereka ketahui sebelumnya. Pada kesempatan tersebut, narasumber berupaya untuk menyampaikan informasi mengenai bagaimana cara yang dapat dilakukan oleh orang tua (ayah dan ibu) untuk membangun komunikasi yang efektif antarmereka (ayah, ibu, anak-anak). Antara bapak-bapak dan ibu-ibu perlu terjalin komunikasi yang terbuka untuk menyampaikan ide/perasaan masing-masing sehingga mereka dapat terhindar dari stress/depresi ketika menjalankan kehidupannya. Antara orang tua dengan anak juga terjalin komunikasi yang baik sehingga jika anak-anak mengalami permasalahan, yang dapat dijadikan tempat untuk curhat adalah orang tuanya.Sesi dibuka dengan menanyakan

beberapa pengetahuan terkait dengan topik yang akan disampaikan mengenai: 1) hal-hal apa saja yang bapak/ibu sudah lakukan sehari-hari? 2) apa yang bapak/ibu lakukan jika merasa lelah ketika melaksanakan pekerjaan/tugasnya sehari-hari? 3) apakah bapak/ibu mengkomunikasikannya dengan pasangan? 4) hal apa saja yang sudah bapak/ibu lakukan bersama dengan anak-anak di rumah? Sebagian besar orang tua menjawab dengan jawaban yang normatif yaitu mereka sudah lakukan sesuai dengan yang mereka ketahui dan mereka anggap benar.Sesi berikutnya adalah penjelasan serta tanya jawab mengenai pentingnya membangun

komunikasi yang efektif, baik itu antara orang tua (ayah ibu) maupun dengan anak-anak.

Ayah-ibu perlu untuk menyampaikan ide/perasaannya sehingga mereka saling tahu. apa saja yang mereka sudah lakukan, perasaannya serta apa rencana yang akan mereka jalankan selanjutnya. Ayah-ibu juga perlu untuk mengembangkan ilmu parenting(yang sesuai) dengan kondisi keluarga masing-masing sehingga terjalin komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak-anak.

Berdasarkan hasil pelaksanaan Program Pengabdian Masyarakat pada

kelompok dewasa (orang tua) di RPTRA Kembangan maka dapat disimpulkan sebagaiberikut: 

1. Mengenali dan memahami pentingnya komunikasi yang dibangun di dalam keluarga oleh suami-istri (ayah-ibu) agar terjalin komunikasi yang efektif, baik,lancar dan terbuka

2. Penyuluhan mengenai parenting disambut dengan antusias oleh peserta, dalam hal ini

orang tua. Mereka tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai hal-hal apa saja yang dapat mereka lakukan untuk menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak mereka.

https://publikasi.mercubuana.ac.id/index.php/jam/article/view/6033/2643

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Objek Kajian Semiotika (lukisan Basoeki Abdullah) Topeng Sandiwara Kehidupan

kajian literatur

REVIEW JURNAL KESENIAN DAN DESAIN